Berani Gagal
Banyak juga orang yang takut tulisannya ditolak oleh media. Sehingga tulisan-tulisan yang mereka hasilkan hanya numpuk di kamar mereka saja. Mereka takut tulisannya dibaca orang, apalagi jika sampai dikritik.
Billi PS Liem dalam bukunya yang super laris Dare to Fail mengkritisi hal ini walau tidak secara explisit. Banyak orang di dunia ini yang tidak berani melakukan sesuatu. Mereka takut gagal. Jika mereka menulis, mereka takut tulisannnya jelek dan dihina orang. Atau jika mereka mengirimkannnya ke media, mereka takut tulisannya ditolak. Atau juga ketika tulisannya telah dikirim ke media dan ditolak, mereka lantas menyerah dan mencap dirinya ‘Tidak Berbakat Menulis’.
Padahal semua orang sukses yang ada di dunia ini rata-rata pernah gagal. Bill Gates yang merupakan orang terkaya di dunia versi Majalah Forbes (konon kekayaan bersihnya mencapai Rp 419,4 Trilyun, sekitar 4 x lipat APBN Indonesia) pernah berkata "Banyak orang hanya melihat keberhasilan saya. Padahal keberhasilan saya itu hanyalah 10 persen dari hidup saya. 90 persennya adalah kegagalan saya."
Yup, kegagalan merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan untuk meraih sebuah gelar bernama ‘sukses’. Ibaratnya SKS yang harus diambil jika kita ingin lulus kuliah. Semua orang mengakui bahwa Anggeliqe Wijaya (Juara Tenis Dunia Wibledon Junior) mempunyai smash sangat kuat dan akurat. Tapi dibalik smash tajamnya itu adalah ribuan smash-smash yang nyangkut di net atau keluar lapangan ketika latihan. Atau juga Thomas Alfa Edison yang telah menemukan lebih dari 100 alat yang sangat bermanfaat bagi manusia sekarang ini. Salah satu penemuannya adalah lampu bohlan. Dan dalam experimennya menemukan lampu bohlan tersebut, Kang Edi (begitu sapaan akrab Edison seandainya masih hidup dan ada di hadapan saya) mencoba 2000 kawat. Dan ternyata kawat yang ke 2000-lah yang ternyata bisa menghantarkan listrik dan berpijar. Coba bayangkan, seandainya Kang Edi menghentikan percobaan pada langkah ke 1999, mungkin kehidupan yang terang benderang ini tidak akan pernah ada. Mungkin.
Lalu bagaimana dengan kamu? Apakah kamu masih takut untuk menulis dan mengirimkannya ke media? Jika sudah, berapa yang ditolak? Satu, dua, atau tiga karya? Dan apakah kamu masih menganggap kamu ‘tidak berbakat’ ketika tulisannmu ditolak? Pasti tidak kan?
Saya pribadi pernah mengirimkan karya hampir lima belas kali ke media. Semuanya ditolak. Baru kira-kira yang keenam belas kalinya dimuat. Saya juga pernah tiga kali mengikuti perlombaan kepenulisan, dan selalu kalah. Baru yang keempat kalinya menjadi Juara.
So, keep fight! Jangan mudah menyerah.
Tiga cara untuk menjadi Penulis : Menulis, Menulis, dan Menulis
Penulis Amerika Getrude Stein mendefinisikan arti menulis dengan menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah…, dan seterusnya. Kuntowijoyo pernah berkata bahwa hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu menulis, menulis, dan menulis. Helvy Tiana Rosa pernah berkata bahwa yang mutlak dilakukan oleh seorang penulis adalah banyak membaca dan kemudian [latihan] menulis.
Ya, tidak ada jalan singkat untuk menjadi penulis kecuali menulis. Menulis untuk yang ke-satu adalah bangku kuliah untuk kemudian teori-teori yang didapatkannya dipraktekkan pada menulis yang ke-dua. Menulis yang kedua adalah bangku kuliah yang teori yang didapatkannya dipratkekkan pada menulis ketiga. Begitu seterusnya.
Pikiran Bawah Sadar: Sumber Kreativitas
Yang biasa saya lakukan sebelum memulai menulis adalah berbaring di kasur, kemudian membiarkan pikiran ini ‘mengembara’ dengan sendirinya tanpa dikendalikan dan kemudian ide-ide kepenulisan itu datang mengalir. Kok bisa sih?
Ya, kegiatan inilah yang biasanya dinamakan dengan menggali Pikiran Bawah Sadar. Dalam buku Piece of Mind, penulisnya mengatakan bahwa Pikiran Bawah Sadar adalah sejumlah memori yang mengendap dan mengkristal dalam jaringan otak yang paling dalam.
Pikiran-pikiran di pikiran bawah sadar ini akan mengalir ke dalam otak sadar kita kalo kita memanggilnya. Pikiran-pikiran ini hadir dalam benak kita berupa ide-ide cemerlang tentang sesuatu, kreativitas, alur cerita, dan banyak lagi.
Intuisi dan Revisi : alat pengontrol kualitas
Jangan pernah ragu untuk menulis karena kita tidak punya teori. Sebagian besar penulis menulis tidak dengan teori. Bahkan penulis novel LUPUS dan OLGA, Hilman Hariwijaya berkata: "Kalau anda mau menulis, ya menulis saja. Tak perlu terpaku pada kaidah-kaidah atau teori-teori. Setelah jadi, biar para pemikir dan kritikus yang mencarikan teori apa yang kamu pakai."
Ada juga pendapat lain dari William Forrester. Beliau berkata "Menulislah—pada saat awal—dengan hati. Setelah itu, perbaiki tulisan kamu dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berfikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang Anda rasakan."
Saya sepakat dengan kedua penulis senior ini. Jika mau menulis, ya menulis saja. Jangan pikirkan teori. Saya pribadi memang termasuk orang yang membaca teori. Ada sekita 6 buku teori kepenulisan yang pernah saya baca. Tapi pada saat menulis, teori-teori itu serasa terbang entah kemana. Jarang saya pakai.
Bagus tidaknya tulisan kita, justru bisa kita rasakan oleh kita sendiri. Istilah kerennya mungkin Intuisi. Biasanya saya tidak peduli dengan apapun saat nulis untuk versi pertama. Baru setelah itu saya baca ulang. Di sinilah intuisi bermain. Merasakan apakah tulisan saya ini enak dibaca atau tidak. Jika ada sesuatu yang tidak sreg, saya akan men-delete-nya dan menggantikan kalimat yang kurang bagus tadi dengan kalimat yang lebih canggih. Kegiatan itu terus saya lakukan berkali-kali. Kegiatan inilah yang dinamakan dengan Revisi. Saya tidak akan mengirimkan ke media sampai saya merevisinya berulang kali dan tidak ada kejanggalan lagi dalam tulisan saya. Bahkan jika untuk sebuah perlombaan, revisi pada tulisan tersebut saya lakukan sampai 25 kali.
Oke, selamat menulis ya….!
Tulisan ini disampaikan dalam acara Pesantren Liburan Mahasiswa XVII Se-Jawa Barat dan Banten DKM UNPAD di Islamic Centre Sumedang, Rabu 22 Juni 2005
29 Juni 2010
Filled Under: TIPS DAN TRIKS
Tips Sederhana dalam Menulis
Penulis: syahid
Nyebur Dulu, Baru Berenang
Banyak orang yang ragu-ragu untuk memulai menulis. Ini tidak hanya dialami oleh para pemula, tapi juga dialami oleh penulis-penulis senior ketika mereka akan menulis lagi. Ketika akan menggoreskan beberapa kata di layar komputer, mereka ragu tulisannya nggak enak dibaca atau jelek dan sebagainya. Biasanya mereka duduk bengong di depan komputer tapi tidak satu kalimat pun dituliskannya.
Keadaan ini pun sering saya alami. Tapi biasanya keadaan ini saya dobrak saja. Artinya saya paksakan saja untuk menulis. Biasanya saya alami ketika dikejar-kejar Penerbit dan dikasih jatah waktu sekian hari untuk menyelesaikannya.
Hasilnya memang pada halaman-halaman pertama biasanya kualitasnya jelek. Tapi lama-kelamaan akan terbiasa. Suasana hati pun akan terbangun. Emosi kita pun terhanyut dalam tulisan-tulisan yang kita buat. Jadilah kita asyik berwara-wiri dengan tulisan kita. Dan jika sudah sampai dalam keadaan seperti ini, jangan harap deh kita bisa diganggu dengan kegiatan-kegiatan lain. Bahkan kita akan kuat duduk berjam-jam di depan komputer dalam waktu yang lama.
Dan keadaan ini pernah saya alami. Saya pernah tidak tidur semalaman hanya untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Bukan, bukan karena tulisan itu sangat mendesak. Tapi lebih karena keasyikan menulis tersebut. Dan jika keadaan tersebut dipotong dengan kegitan lain, apalagi kegiatannya sangat menyita pikiran, biasanya sangat sulit untuk membangun kembali suasana yang telah muncul tersebut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih telah mengunjungi blog kami, sangat senang kiranya anda menyembatkan alamat URL blog atau fFB anda.