15 September 2007

Filled Under:

Cerpen

Persahabatan dan Cinta “Elegi hari Lepas Pisah” By. Dhita dae Alumni SMP 6 Jember 2006/2007

Jam sudah menunjukkan pukul 8.00, acara segera dimulai namun sedari tadi aku mencari Gian tak juga tampak, padahal pada acara perpisahan ini, ia dan kelompok bandnya di jadwalkan tampil sebagai band pertama yang tampil pada acara lepas Pasrah siswa kelas 3 di sekolahku. “Firdaus apa kamu tahu dimana Gian?” tanyaku pada salah satu

sahabat dalam kelompok sahabat kami. “entahlah kita sendiri lagi bingung, sejak tadi sudah mencari kemana-mana tapi gak ketemu, padahal kita sebentar lagi tampil” jawab Firdaus dengan raut panik. “Gian dimana kamu, kami semua mecemaskanmu”. Ungkapku dalam hati. Acara telah dibuka, presenter yang memandu acara telah beberapa kali memanggil kelompok band Gian dan teman-temannya, namun tak juga naik panggung akhirnya digantikan oleh kelompok band yang lain. Teman sekelas mencari Gian yang tiba-tiba hilang seperti ditelan bumi. Aku keluar gedung aula, entahlah tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak, selalu di bayangku tampak wajah Gian, sahabat karibku, meski aku telah pejamkan mataku, wajahnya terus juga menyapa, bahkan tiap kali aku melihat orang lain selalu terlintas wajah Gian. “Ada apa ini, mengapa wajah Gian terus saja menghantui aku”. Aku terus keluar kearah jalan raya. Tampak olehku di kejauhan diantara beberapa orang yang tengah duduk di sebuah halte aku melihat sosok Gian. Aku mencoba mengusap mataku untuk memastikan panandanganku, ternyata benar Gian ada disana diantara beberapa orang yang sedang menunggu angkutan kota. “Gian, kenapa kamu ada di sini”. Tanyaku mengejutkan lamunannya. “aku mau pulang”. Jawabnya singkat dan dengan segera beranjak dari tempatnya. “kamu kenapa, bukannya kamu akan tampil di acara lepas pisah hari ini?” tanyaku sengit. “Ditha, aku tak tahan melihat wajah teman-temanku di dalam gedung yang begitu cerianya, padahal mereka tahu kalau hari ini adalah awal dari tananda-tananda perpisahan kita, aku tak tahan”. Aku hanya tertegun mendengar pernyataan Gian. “Gian, bukankah perpisahan ini memang harus terjadi, kita tidak mungkin selamanya bersama menjadi siswa SMP”. Kataku dengan nada menghibur. “Itulah yang sangat menyakitkan, sulit sekali membanyangkan kita semua harus berpisah dan aku tak sanggup melepas perpisahaan ini dengan kegembiraan yang semu”. “Iya, tapi kenapa kamu tiba-tiba jadi cengeng seperti ini, padahal biasanya kamulah yang paling tegar dan kamulah sahabat kami yang selalu memberi kami nasehat disaat kami rapuh”. “Ditha, bukan hanya perpisahaan ini yang membuat aku menjadi rapuh, namun ada hal yang membuatku gelisah dan tak sanggup aku memendamnya semakin lama”. “Apa maksudmu, Gian”. “Apakah kamu telah bangga dengan persahabatan kita ini”. Tanya Gian yang membingungkanku. “Apakah pada persabahatan kita ini telah kau dapati kesempurnaan tanpa celah” sambungnya dengan melangkah pergi meninggalkanku yang semangkin kebingungan. “Gian tunggu, apa maksudmu aku tak mengerti” karena penasaran aku kejar langkah kecil Gian. “Jadi menurutmu diantara persahabatan kita ini ada yang berkhianat ..?, tanyaku dengan nada ketus. Yang dijawabnya dengan anggukkan yang membuatku semakin bingung. “kamu jangan asal menuduh, emangnya siapa diantara sahabat-sahabat kita yang telah mengkhianati persabahatan kita” tanyaku dengan nada berang. “Aku...Aku orangnya yang telah mengkhinati kalian semua, aku yang telah mengingkari komitmen dan perjanjian kita” jawab Gian dan kemudian berpaling dari panandanganku. “Gian..Gian, tunggu, apa maksudmu, aku gak ngerti dengan apa yang kamu bicarakan, tolong jangan pergi dulu”. “Ditha maafkan aku, aku telah mengkhiantai kalian semua, aku telah melupakan janji kita bahwa diantara persahabatan kita pantang memiliki perhatian dan perasaan yang lebih selain persahabatan. Nyatanya aku tak bisa memendam perasaaku bahwa aku telah mencintai seseorang diantara sahabat kita, maafkan aku” ungkap Gian yang membuatku terpaku. “Gian sadarkah kau dengan apa yang kau katakan ini? aku memastikan ketidak percayaanku. “Lalu Siapa, siapakah orangnya yang kamu maksud itu”. “Maaf Ditha aku tak bisa mengatakannya, aku terlalu pengecut untuk mengatakan kebenaran ini, kepadamu dan kepada semua sahabat-sahabat kita”. Jawab Gian. “Gian aku tak menyangka, bahwa selain penghianat kau juga sangat pengecut, aku sangat kecewa padamu, aku kecewa padamu karena kau bukan hanya seorang pengkhianat dan pengecut tapi juga kau orang yang egois dan tak bertanggung jawab, apakah kau sadar dengan keegoisanmu ini kami semua mencemaskanmu bahkan telah membuat teman-teman sekelas mencarimu, aku kecewa padamu lebih dari kau seorang pengkhianat dan pengecut, sekarang silahkan pergi dan larilah dari kenyataan ini, dasar egos” kataku dan meninggalkan Gian yang terpatung. Dentungan lagu lewat sound system mengalun menghantarkan hari ini, teman-teman yang ada di aula dengan asyik menikmati perayaan hari pepisahan. Di kejauhan sahabat-sahatku telah menunggu. “Gimana Ditha, apa kamu sudah ketemu dengan Gian” Tanya Kiki padaku. “kita tak perlu menunggu pengkhianat itu lagi”. Jawab ku dengan kesal. “eh...emangnya ada apa, kenapa kamu pangil Gian dengan pengecut, apa salah dia” tanya Ferdi seolah tidak terima. “kamu tak perlu membela pengecut itu lagi, ia telah mengkhianati kita dan diapun telah lari dari kita yang telah mencari dan menunggunya di sini, jadi kenapa harus menunggu penghianat itu” jawabku dengan kesal dengan berlinang air mata. Aku tak paham dengan perasaanku, tiba-tiba saja aku sangat kehilangan permata yang telah menghias hari-hariku. Suara musik memecah kemelut, tak terasa acara akan segera usai. “Ditha, aku tak habis pikir, kenapa kamu berfikiran buruk pada sahabat kita sendiri, aku tidak menyangka kau setega itu” sambung Novi. “Ia Dit, kita bersahabat, jadi tidaklah pantas memfitnah orang apalagi Gian itu sahabat kita” ungkap teman-teman hampir bersamaan. Namun secara mengejutkan dari belakang tiba-tiba Gian hadir dan berkata “Ditha benar, memang diantara persahabatan kita ini ada seorang penghianat yang pantas kalian benci yaitu aku”. Semua mata memanandang Gian seolah terhipnotis. “Apa maksudmu Gian, tolong jelaskan pada kami” tanya Firdaus dengan penasaran. “teman-teman, maaf kan aku. Aku telah menkhianati kalian semua, aku melanggar perjanjian yang kita buat dulu bahwa diantara persahabatan kita pantang ada perasaan cinta, aku membohongi kalian semua. Aku telah sekian lama memiliki perasaan pada salah satu cewek di kelompok kita ini, namun aku tak berani menyampaikan perasanku, maafkan aku...”. “Jadi sudah berapa lama kau membohongi kami”. Tanya Ferdi dengan tampang kesal. “Dari sejak kita mengukuhkan persahabatan kita ini, sejak itu aku telah menaruh hati pada ...” Gian terdiam ia dan semua mata terpusat padanya dan tiba-tiba. “Dasar pengkhianat...”. (prak) Ferdi dengan kesal memukul wajah Gian “Dasar pengkhianat. Tak kusangka selama ini kamu membohongi kami, lebih baik kamu keluar dari persahabatan kita ini”. “Sabar Fer, kamu jangan emosi, jangan sampai teman-teman lain melihat kita seperti ini, malu kan...!”. cegah Novi. “Aku memang pantas kalian pukul. Dan memang aku tak pantas diantara ketulusan persahabatan kalian” kata Gian dan lalu menatapku, entah mengapa aku terasa gugup melihat tatapannya yang tajam seolah mencabik-cabik hatiku. “Ditha, maafkan aku..., aku selama ini menyembunyikan perasaanku padamu, aku mencintaimu Ditha, tapi aku tidak berharap kau membalas cintaku, karena aku tahu kamu telah mencintai Galih, tapi aku bangga selama ini bisa bersamamu, melihatmu, bersenda gurau bersamamu, meski perasaanmu tidak padaku. Aku telah bangga mencintaimu, namun aku sadar ternyata tindakkanku ini telah menghancurkan banyak hati sahabat-sahabatku” aku hanya tertegun mendengar pernyataan Gian, bukan hanya aku, teman-teman terperangah mendengar pernyataan Gian yang gila. Di tengah ketegangan, presenter mengejutkan kami lewat microfon memanggil kelompok band kami. “teman-teman bolehkan untuk terakhir kalinya aku bergabung”. Gian memecahkan keheningan kami. “baiklah Gian karena hari ini kita harus tampil dan berhubung kami tidak ada pengganti vokal maka kamu kita beri kesempatan”. Jawab Ferdi dan bergegas naik panggung diikuti teman-teman. Panandangan Gian tertunduk saat melantunkan bait-bait syair dan terlihat jelas di matanya air mata, kerap kali pada saat ia menyanyi dengan wajah yang dalam memanandangku “Tetaplah menjadi bintang di langit....agar cinta kita akan abadi...biarkan sinarmu tetap menghiasi alam ini agar menjadi saksi cinta kita....berdua..” tembang dari Padi ia lantunkan dengan penuh penghayatan membuat kami semua menjadi terpanah. “Lagu ini aku persembahkan buat Ditha, semoga waktu mempertemukan kita kembali dari perpisahan yang menyakitkan ini, terima kasih sahabatku semua..” lagu itu ditutup dengan pernyataan Gian yang seumpama anak panah yang menembus jantung hatiku, aku tak kuasa menahannya dan aku segera berlari meninggalkan aula yang makin ramai karena bintang tamu K2 Regge. “Gian...bukan hanya kau yang penghianat, tapi aku lebih kejam dari itu. Sejujurnya jauh sebelum kau mencintaiku, hatiku telah menjadi milikmu, namun karena aku wanita tak mampu mengatakannya seperti dirimu, dan karena wanita lebih bisa memendam perasaannya dari pada seorang pria, namun ku akui, kau seorang yang pemberani, bukanlah pengecut. Terima kasih Gian, Semoga perpisahan ini menjadi awal dari perjumpaan kita, yang kita kemas dalam balutan kasih dan dengan iringan sayang seperti dimana Rama terhadap Sinta, seperti Romeo dan Juliet. Gian aku menunggu kau menyatakan cintamu kepadaku, disini... diantara tiupan angin yang menyapa wajahku, diantara kebisingan kota namun telah kusiapkan sebuah ruang yang hening untuk cinta kita...terima kasih atas keberanianmu, dan maafkan pengkhianatan kami para sahabatku....dan Galih maafkan aku, karena telah kutemukan permata hatiku yang sesungguhnya...maafkan aku....” *) 7-8-3-8-4-7-4

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih telah mengunjungi blog kami, sangat senang kiranya anda menyembatkan alamat URL blog atau fFB anda.